Dunia Hawa - Dalam beberapa hal, agama itu mirip pil ekstasi. Keduanya bisa membuat "mabuk" dan "terbang" orang-orang yang menelannya. Sebagaimana ekstasi atau "pil koplo" ini, agama juga mampu membuat para pemeluk fanatiknya kehilangan nalar-pikiran waras. Beragama, jika tidak diiringi dengan akal sehat, memang bisa menyulap para pengikutnya menjadi "kerbau-kerbau bebal" persis seperti orang mabuk yang otaknya kosong-mlompong.
Simaklah apa yang dilakukan oleh anggota FPI (Front Pelecehan Islam) yang menganggap jaket paskibraka merah putih bersilang ini sebagai bagian dari modus untuk memasyarakatkan salib dan mengsalibkan masyarakat (di Banten). Hanya orang "mabuk" yang mempunyai pikiran-pikiran tidak waras seperti ini. Hanya orang "mabuk" pulalah yang mempercayai Hawa (Eva)--yang oleh agama-agama Semit dinarasikan sebagai perempuan pertama di dunia--sudah berjilbab sejak detik pertama "turun" ke bumi.
Banyak contoh orang beragama yang perilakunya bukan seperti manusia tetapi hanya "setengah manusia" saja alias "das man". Lihatlah bagaimana bengisnya perilaku sejumlah kelompok agama yang seperti orang "teler" alias "mabuk" melakukan berbagai tindakan kriminal dan tidak manusiawi: kekerasan, pengrusakan, pembunuhan, pemerkosaan dan sebagainya. Mereka mengkliam melakukan semua itu demi membela agama dan Tuhan. Agama dan Tuhan dengkulmu.
Beragama seharusnya mampu mengantarkan pemeluknya menjadi "manusia sejati" alias "der Ubermensch" yang ramah-toleran dengan sesama umat manusia dan alam semesta. Agama hadir, saya percaya, untuk membantu umat manusia agar menjadi individu-individu yang sempurna atau "manusia sejati" tadi. Apalah artinya beragama, jika hanya menurunkan derajat dan kualitas Anda dari "manusia penuh" menjadi "menusia setengah"? Beragama kalau begini caranya kan "mubazir". Mikir dikit kenapa, dikit saja...
Jabal Dhahran, Arabia
Prof.Sumanto al Qurtuby
Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, dan Visiting Senior Research Fellow di Middle East Institute, National University of Singapore
Kaum Pembenci Tambah-tambahan
Alkisah di negeri ini terdapat satu kaum yang hobinya kejang kejang kelojotan berpikir sebuah gambar tanda PLUS (+) bisa membuat orang murtad pindah agama.
Tahun 2016 di abad Milenium saat ras manusia tengah sibuk berlomba menguasai antariksa (space race) , kaum ini masih meriang panas dingin melihat 2 garis berpalang membentuk tanda Tambah (+) pada Matematika.
Mungkin ini alasan mereka hobi mengkafirkan yang tidak sealiran dan mengkavling surga hanya untuk golongan mereka saja. Mereka ingin mengurangi populasi surga karena mereka hanya suka tanda Kurang (-) pada Matematika.
Benci Tambah-Tambahan, Suka Kurang-Kurangan
Mungkin itu juga sebabnya mereka cenderung Minus dalam segala hal.. Minus akhlak, Minus Adab, Minus Perilaku, Minus Pendidikan, Minus Moral, Minus banyak hal.. disebabkan karena mereka membenci segala sesuatu yang berbau Plus.
Benci Plus, Suka Minus
Ustad Abu Janda Al Boliwudi
Kekonyolan Simbol
Lambang palang merah tadinya diambil dari lambang bendera Swiss, negara asal Henry Dunant, pendiri gerakan palang merah. Simbol ini ditetapkan pada sebuah konferensi yang dihadiri oleh 14 negara pada tahun 1863.
Tapi dalam perang melawan Rusia pada tahun 1876 Turki menolak memakai lambang palang merah. Simbol inj dianggap mewakili Kristen. Maka Turki memakai lambang bulan sabit merah, yang kini dipakai di banyak negara muslim.
Tahun 2005 diperkenalkan simbol baru, yaitu kristal merah, yang lebih netral, tidak salib, tidak pula bulan sabit.
Palang merah tadinya adalah gerakan yang netral, tujuannya menyelamatkan orang-orang yang terluka pada peperangan. Ternyata dalam semangat yang netral itu masih ada prasangka-prasangka lain, sehingga simbolnya pun dipermasalahkan.
Kekeonyolan soal anti salib ini masih terus berlanjut.
Hasanudin Abdurakhman, PhD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar